Amman (ANTARA News) - Raja Abdullah II dari Jordania, Selasa (26/4), membentuk  komite kerajaan guna mengkaji undang-undang dasar dan tampil dengan perubahan undang-undang dasar yang cocok dengan kondisi Jordania saat ini dan masa depan.

Panel  yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Ahmad Al Lawzi, terdiri atas delapan anggota lain --tiga di antara mereka adalah mantan perdana menteri, demikian isi pernyataan Istana Raja, yang dikeluarkan Selasa.

"Tujuan dari komite ini ialah melakukan apa saja yang mungkin guna membina kehidupan politik. Langkah ini bertujuan menciptakan keseimbangan antara pemerintah (dewan legislatif, eksekutif dan judikatif) dan meningkatkan kinerja parlemen dan politik di negeri ini," kata Raja Abdullah II di dalam surat yang ditujukan kepada Al Lawzi.

Pemimpin Jordania tersebut menugaskan panel itu akan menghasilkan formula undang-undang dasar yang memungkinkan parlemen melaksanakan peran legislatif dan penyeliaan dengan cara yang efisien dan independen serta memastikan ketakterikatan lembaga kehakiman.

Panel tersebut mesti mempertimbangkan saran dari Komite Dialog Nasional yang bertugas menyusun peraturan baru tentang pemilihan umum dan peraturan mengenai partai politik, kata Raja Abdullah di dalam dekritnya.

Raja Jordania itu menyampaikan harapan bahwa tindakan tersebut akan meningkatkan proses demokratis di Jordania dan menambah besar ketikutsertaan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan.

Di Jordania, tempat sistem pemerintahan adalah "kerajaan parlementer dan turun-temurun", telah berulangkali ada seruan dari oposisi bagi perubahan undang-undang dasar selama beberapa bulan belakangan.

Pada Senin (25/4), Suriah menutup perbatasannya dengan Jordania, kata Menteri Penerangan Kerajaan itu, Taher Adwan, beberapa jam setelah tentara yang didukung dengan beberapa tank menyerbu masuk ke kota Daraa --yang bergolak di Suriah selatan.

"Suriah telah menutup perbatasan daratnya dengan Jordania. Keputusan Suriah itu terkait dengan situasi di dalam negeri di Suriah," katanya.