London (ANTARA News) - Inggris mengusir duta besar Libya setelah serangan-serangan terhadap kedutaan besar Inggris di Tripoli yang dituduhkan pada pasukan Moamer Kadhafi, kata Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, Minggu.

Hague mengkonfirmasi laporan-laporan bahwa gedung kedutaan Inggris di ibu kota Libya itu telah hancur dan mengatakan, serangan-serangan juga dilakukan pada sejumlah misi diplomatik negara lain di Tripoli.

"Karena itu saya mengambil keputusan untuk mengusir duta besar Libya. Ia dinyatakan sebagai persona non grata sesuai dengan pasal sembilan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik dan memiliki waktu 24 jam untuk meninggalkan negara (Inggris)," katanya.

Sebelumnya, kementerian luar negeri menyatakan memperoleh laporan-laporan bahwa gedung diplomatik Inggris di Tripoli, yang mencakup tempat tinggal duta besar dan kantor staf, telah "hancur".

Serangan terhadap kedutaan itu dilakukan hanya beberapa jam setelah pemerintah Libya menuduh pasukan NATO membunuh putra bungsu Kadhafi dan tiga cucunya dalam serangan pada Sabtu malam.

Duta besar Inggris ditarik dari Libya pada awal konflik dan London saat ini tidak memiliki staf diplomatik di Tripoli, namun satu tim kementerian luar negeri Inggris berkantor di kota Benghazi yang dikuasai pemberontak.

"Saya mengutuk serangan terhadap kantor kedutaan Inggris di Tripoli serta misi-misi diplomatik negara lain," kata Hague dalam sebuah pernyataan.

"Konvensi Wina mewajibkan rejim Kadhafi melindungi misi diplomatik di Tripoli. Dengan tidak melakukan hal itu, rejim itu sekali lagi telah melanggar kewajiban dan tanggung jawab internasional," katanya.

Pada 30 Maret, Inggris mengusir lima diplomat Libya, termasuk atase militer, karena mengintimidasi kelompok-kelompok oposisi di London.

"Menggarisbawahi kekhawatiran besar kami atas tingkah laku rejim (Libya), saya mengumumkan kepada parlemen bahwa kami hari ini mengambil langkah-langkah untuk mengusir lima diplomat di kedutaan besar Libya di London, termasuk atase militer," kata Menteri Luar Negeri Inggris William Hague kepada parlemen saat itu.

"Pemerintah juga menilai bahwa jika individu-individu ini tetap berada di Inggris, maka mereka bisa menimbulkan ancaman bagi keamanan kita," katanya.

Seorang juru bicara kementerian luar negeri mengatakan, diplomat-diplomat yang diusir itu diyakini sebagai pendukung kuat pemimpin Libya Moamer Kadhafi, yang dituntut mengundurkan diri oleh Inggris dan negara-negara lain.

Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan sebelumnya, ia tidak akan mengesampingkan upaya mempersenjatai pemberontak Libya yang memerangi rejim Kadhafi.

Kedutaan Besar Libya di London tidak memberikan tanggapan atas pengusiran tersebut saat itu.

Pemrotes oposisi naik ke atap kedutaan itu -- yang secara resmi dikenal sebagai Biro Rakyat Libya -- pada 16 Maret dan mengganti bendera rejim Kadhafi dengan bendera yang digunakan pemberontak Libya.

Libya kini digempur pasukan internasional sesuai dengan mandat PBB yang disahkan pada 17 Maret.

Resolusi 1973 DK PBB disahkan ketika kekerasan dikabarkan terus berlangsung di Libya dengan laporan-laporan mengenai serangan udara oleh pasukan Moamer Kadhafi, yang membuat marah Barat.

Selama beberapa waktu hampir seluruh wilayah negara Afrika utara itu terlepas dari kendali Kadhafi setelah pemberontakan rakyat meletus di kota pelabuhan Benghazi pada pertengahan Februari. Namun, kini pasukan Kadhafi dikabarkan telah berhasil menguasai lagi daerah-daerah tersebut.

Ratusan orang tewas dalam penumpasan brutal oleh pasukan pemerintah dan ribuan warga asing bergegas meninggalkan Libya pada pekan pertama pemberontakan itu.

Kadhafi (68) adalah pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa. Kadhafi bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun, demikian AFP melaporkan.