Brussel (ANTARA News) - Uni Eropa (EU) memberlakukan sanksi pada Presiden Suriah Bashar al-Assad dan para pejabat tinggi lain, Senin, yang meningkatkan tekanan pada pemerintahnya untuk mengakhiri kekerasan beberapa pekan terhadap pemrotes.

Para menteri luar negeri EU sepakat pada pertemuan di Brussel untuk memperluas pembatasan pada Suriah dengan menambahkan nama Assad dan sembilan anggota senior pemerintah dalam daftar orang yang dilarang pergi ke EU dan asetnya dibekukan, demikian Reuters melaporkan.

Sanksi itu diberlakukan setelah sebelumnya EU menerapkan larangan perjalanan pada 13 sekutu terdekat Assad dan embargo senjata, yang diberlakukan pada Mei sebagai tanggapan atas penumpasan terhadap protes pro-reformasi.

Sebuah pernyataan 27 menteri luar negeri EU mengatakan, mereka "memutuskan memperkuat langkah-langkah pembatasan ini dengan menambahkan sejumlah nama (pejabat Suriah), termasuk di tingkat kepemimpinan tertinggi".

"EU bertekad mengambil langkah-langkah lebih lanjut tanpa penundaan jika para pemimpin Suriah memilih tidak mengubah jalan yang mereka tempuh saat ini," kata pernyataan itu.

Pasukan keamanan Suriah membunuh 11 orang Sabtu di kota Homs selama pemakaman mereka yang tewas dalam penumpasan terakhir terhadap pemrotes yang menentang kekuasaan Assad, kata beberapa saksi.

Suriah sejak pertengahan Maret dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Kelompok-kelompok HAM menuduh pasukan keamanan Suriah membunuh lebih dari 800 warga sipil dalam penumpasan terhadap demonstrasi damai.

Menurut mereka, ribuan orang Suriah ditangkap dan puluhan orang hilang setelah demonstrasi menuntut kebebasan politik dan diakhirinya korupsi meletus beberapa pekan lalu.

Pihak berwenang Suriah menuduh kekerasan itu didalangi oleh kelompok-kelompok bersenjata yang didukung muslim garis keras dan kekuatan asing, yang menurut mereka menewaskan lebih dari 120 anggota pasukan keamanan.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Presiden Bashar al-Assad juga memutuskan mencabut undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.