FOKUS INTERNATIONAL KEMBALI HADIR UNTUK PARA PEMBACA SEKALIAN

jual beli liberty reserve, jual beli paypal

Senin, 11 Juli 2011

Kisah Kegagalan Negara Arab Modern

Pengunjuk rasa duduk di Alun-alun Martir di Suez, Mesir
Mesir (ArsipBerita) - Dideklarasikannya Republik Sudan Selatan di Juba, Sabtu (9/7), menambah panjang cerita kegagalan negara Arab modern. Berkobarnya revolusi Arab saat ini juga ditengarai akibat gagalnya negara Arab modern.

Negara Arab modern yang dimaksud adalah negara yang terbentuk pasca-era kolonial di Mesir, Tunisia, Suriah, Irak, Aljazair, Sudan, Maroko, Libya, dan Lebanon.

Dulu, bangsa Arab berkorban besar dengan darah dan air mata untuk meraih kemerdekaan dari kolonial Barat. Aljazair, contohnya, harus merelakan sejuta rakyat negeri itu tewas untuk meraih kemerdekaan dari Perancis.

Mesir terseok-seok untuk mengusir kaum penjajah sepenuhnya dari negeri itu. Klimaks dari perjuangan rakyat Mesir adalah Perang Suez tahun 1956 melawan Inggris, Perancis, dan Israel. Perang Suez yang merenggut nyawa puluhan ribu rakyat Mesir itu berkobar menyusul keputusan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez dan mengusir Inggris dari terusan tersebut.

Di Libya, seorang perwira muda bernama Moammar Khadafy harus melakukan kudeta pada 1 September 1969 untuk mengakhiri sistem monarki yang memberi izin bercokolnya pangkalan-pangkalan asing di Libya. Jauh sebelum Khadafy, pemimpin perjuangan Libya, Omar Mukhtar, tewas di tiang gantungan lantaran melawan penjajahan Italia di negerinya.

Raja Maroko Muhammad V dan pemimpin kemerdekaan Tunisia, Habib Burguiba, harus rela dibuang dan hidup di pengasingan selama bertahun-tahun sebagai harga yang harus dibayar dalam perjuangan meraih kemerdekaan negeri mereka dari penjajahan Perancis.

Pascakemerdekaan, tokoh-tokoh itu, seperti Habib Burguibah, Raja Muhammad V, Gamal Abdel Nasser, dan Moammar Khadafy, berjanji menegakkan keadilan dan kebebasan di negerinya masing-masing sesuai dengan aspirasi rakyatnya.

Akan tetapi, janji tinggal janji. Bukan keadilan dan kebebasan yang terwujud di dunia Arab, melainkan kehidupan tirani dan berbagai bentuk ketimpangan yang terjadi.

Para pemimpin Arab itu gagal total dalam membangun kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan aspirasi rakyatnya ketika berjuang meraih kemerdekaan dari kolonial. Rakyat di jazirah Arab yang akhirnya harus memikul penderitaan luar biasa akibat para pemimpin mereka mengkhianati janjinya.

Gerakan revolusi Arab yang digalang kaum muda saat ini merupakan puncak dari aksi pemberontakan bangsa Arab melawan tirani para pemimpin mereka.

Kasus Sudan tak jauh berbeda dari negara Arab lain. Rakyat Sudan di bagian selatan bangkit melawan pemerintah pusat di Khartoum sejak tahun 1955 karena mereka merasa diperlakukan tidak adil atau dianggap sebagai warga kelas dua.

Pasca-kemerdekaan dari Inggris tahun 1956 yang berhasil menggabungkan Sudan Utara dan Selatan, pemerintah pusat Khartoum, seperti halnya pemerintah Arab lain, menjelma menjadi pemerintah diktator. Mereka mengabaikan prinsip pluralisme dan tidak mengakui prinsip kewarganegaraan yang menetapkan kesetaraan semua warga di hadapan negara.

Rakyat Sudan Selatan mengorbankan jiwa ratusan ribu penduduk mereka yang tewas dan luka-luka dalam perjuangan meraih kebebasan dari pemerintah pusat Khartoum selama lima dekade.

Cerita negara-negara Barat pun, khususnya AS, di Sudan dan dunia Arab lain tak jauh berbeda. Semula Barat bersekongkol dengan para pemimpin diktator Arab tersebut. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti ingin terjaminnya keamanan Israel dan aliran minyak Arab ke Barat. Namun, Barat kini berbondong-bondong mendukung revolusi Arab.

Dulu, Barat juga sempat bermain mata dengan pemerintah pusat Khartoum, tetapi belakangan mendukung kuat pemisahan Sudan Selatan dari Utara. (Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir

Editor by Fatryani Auly

0 komentar:

Posting Komentar