FOKUS INTERNATIONAL KEMBALI HADIR UNTUK PARA PEMBACA SEKALIAN

jual beli liberty reserve, jual beli paypal

Rabu, 02 Februari 2011

(ANTARA News /AFP) - Hampir 99 persen rakyat Sudan selatan memilih untuk memisahkan diri dari Sudan utara dan mendirikan sebuah negara baru melalui referendum 9-15 Januari, menurut hasil awal lengkap pertama yang diumumkan Minggu.

Hasil sementara sebelumnya telah memperkirakan hasil penghitungan suara tersebut tanpa keraguan tetapi untuk pertama kalinya angka resmi dipublikasikan dalam acara yang dihadiri oleh presiden Salva Kiir di ibukota selatan Juba.

Pemimpin sederhana, yang akan mengemudikan Sudan selatan menuju sebuah negara Juli sesudah melewati periode transisi enam tahun, mengatakan lebih dari dua juta korban perang saudara selama 22 tahun melawan utara tidak mati dengan sia-sia.

Chan Reec, ketua Biro Referendum Sudan Selatan yang bertanggungjawab atas pemungutan suara di selatan, mengatakan jumlah yang sangat besar 99,57 persen dari mereka yang memberikan suara memilih untuk pisah.

Jumlah pemilih di selatan mencapai 99 persen, dengan hanya 16.129 orang pemilih negara terbesar Afrika itu menghendaki agar tetap bersatu, kata Reec, yang pengumumannya disambut gegap gempita kerumunan massa.

Mohamed Khalil Ibrahim, yang mengetuai komisi referendum keseluruhan, mengatakan 58 persen warga selatan tinggal di utara serta 99 persen pemberi suara dari luar negeri memilih untuk berpisah.

"Hasil yang baru saja diumumkan sangat meyakinkan," katanya.

Angka-angka terkini yang diterbitkan di website Komisi Referendum Sudan Selatan dan bertanggungjawab atas 100 persen kertas suara yang diberikan baik di utara maupun selatan menunjukkan suara pisah yang besar sekali 98,83 persen.

Kiir menaruh hormat kepada para korban perang.

"Saya ingin meyakinkan mereka dan keluarga mereka bahwa mereka ini tidak mati sia-sia," katanya di depan para diplomat dan pejabat di musoleum mantan pemimpin pemberontak John Garang.

Garang yang dihormati meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat beberapa saat setelah menandatangani perjanjian damai Januari 2005 yang mengakhiri lebih dari dua dekade konflik antara hitam di selatan yang didominasi Kristen dan kebanyakan Muslim Arab di utara.

Referendum emosional selama seminggu, yang memperlihatkan antrian besar pemilih yang menari dan berdoa yang terbentuk di luar tempat pemberian suara jauh sebelum ufuk pada hari pertama pemilihan, menjadi pusat kesepakatan damai.

Seremoni di Juba Minggu berakhir dengan tari liar mengiringi lagu-lagu yang merayakan "tanah terjanji."

"Kami telah menunjukkan kepada mereka di utara bahwa kami ingin bebas. Kami berdiri selangkah lagi dari kemerdekaan, jadi hari ini kami menari demi masa depan kami yang lebih baik," kata James Mut, seorang mahasiswa dan salah seorang yang bersuka ria.

Di Khartoum, Presiden Sudan Omar al-Bashir, yang memimpin upaya utara untuk mengagalkan pemberontakan selama perang saudara 1983-2005, telah mengakui prospek pemisahan.

Awal bulan ini, dia menggambarkan keputusan selatan untuk menjadi negara ke-193 dunia sebagai "awal baru" dan mengungkapkan harapan kedua negara akan menikmati hubungan "bersaudara", dalam komentar yang mengundang pujian yang jarang dari Washington.

Kiir membalas deklarasi itikad baik Bashir "saudaranya" dan mengatakan dalam pidatonya: "Kami harus bersama dengannya."

Khartoum Minggu menghadapi unjuk rasa yang terinspirasi oleh pemberontakan rakyat yang telah menggetarkan rejim yang berusia 30 tahun di negara tetangga Mesir dan pemberontakan sebelumnya bulan ini di Tunisia.

Partai oposisi Umma mengutuk penindasan polisi terhadap pengunjuk rasa dan menuduh hal itu sebagai kebijakan Bashir yang telah mengusir kaum muda ke jalan-jalan dan menyebabkan pemisahan negara tersebut.

Sebaliknya selagi warga selatan mendapat kepuasan dalam momen kesepakatan nasional, Kiir kembali memperingatkan perayaan prematur.

"Apa yang kalian pikir yang akan saya kerjakan di sini? Mendeklarasikan kemerdekaan Sudan selatan? Kita tidak bisa melakukannya. Mari kita menghormati perjanjian," kata Kiir.

Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, yang negaranya menjadi salah satu anggota tiga serangkai perdamaian Sudan, menyambut baik pengumuman hasil awal namun memperingatkan jalan tidak mudah ke depan.

"Masih terdapat banyak hal yang harus dilakukan olrh banyak pihak di Sudan sebelum penyelesaian Perjanjian Damai Komprehensif, dan kemerdekaan Sudan Selatan, pada 9 Juli 2011," katanya dalam sebuah pernyataan.

Khartoum dan Juba hanya memiliki enam bulan untuk menyepakati garis demarkasi perbatasan mereka, pembagian hasil pendapatan minyak, kewarganegaraan dan masa depan wilayah Abyei yang disengketakan, diantara masalah-masalah lain yang belum terpecahkan.

Inggris, Norwegia dan Amerika Serikat merupakan tiga perantara utama Barat bagi proses perdamaian Sudan tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar