Kairo (ANTARA News) - Para penyabot tak dikenal membom saluran pipa gas Mesir di Sinai Rabu, menyebabkan kobaran bola api di udara dan memaksa pihak berwenang menutup suplai gas ke Israel dan Yordania, kata seorang pejabat kepada AFP.

Serangan terjadi subuh dekat desa Al-Sabil di wilayah El-Arish, kata pejabat keamanan, menambahkan bahwa bom tersebut diledakkan dari jarak jauh.

Kantor berita resmi Mesir MENA melaporkan Jilatan kobaran api menjulang setinggi 20 meter dari saluran pipa yang pecah.

MENA mengatakan angkatan bersenjata bergegas ke lokasi kejadian namun sejauh ini gagal mengendalikan kobaran api. MENA mengutip penduduk setempat yang mengatakan bahwa mereka mendengar ledakan "keras" disusul bola api raksasa.

Tidak ada laporan mengenai jumlah korban yang jatuh.

Menteri Infrastruktur Nasional Israel Uzi Landau menyatakan kepada radio angkatan darat Israel tidak ada dampak langsung pada pasokan dan bahwa negara Yahudi tersebut sedang meningkatkan upaya untuk menemukan pasokan gas alternatif.

Ditanya apakah dia memperkirakan terjadi kekurangan yang akan memutus pasokan listrik, dia mengatakan: "Tidak. Masih ada sisa gas di dalam saluran pipa yang dapat kami gunakan.

"Sesudah itu, dewan kelistrikan harus menemukan alternatif dengan menggunakan gas dari Yam Tethys, batubara atau bahan bakar minyak," katanya, menunjuk pada ladang gas di Israel, yang hampir habis.

Saluran pipa tersebut sebelumnya pernah disabotase pada 5 Februari selama pemberontakan rakyat yang memaksa mantan presiden Mesir Hosni Mubarak lengser pada 11 Februari.

Pasokan gas ke Israel dan Yordania akhirnya kembali pulih pada 16 Maret setelah perbaikan kerusakan.

Mesir memasok 40 persen gas alam Israel yang digunakan untuk pembangkit listrik.

Pada April, sesudah Mubarak terguling, Dewan Militer Mesir yang memerintah negara itu, memerintahkan peninjauan kembali seluruh kesepakatan pasokan gas, termasuk dengan Israel, yang dikecam luas oleh oposisi.

Sejumlah mantan anggota rezim Mubarak yang tersingkir, termasuk dua menteri, akan diadili karena diduga menjual gas dengan harga di bawah pasar kepada Israel.

Anak-anak Mubarak, Alaa dan Gamal, juga ditanyai minggu lalu menyangkut peran mereka dalam kesepakatan suplai gas dengan Israel.

Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979, sebuah langkah yang dipuji komunitas internasional, namun tidak populer diantara rakyat Mesir yang sangat kritis terhadap kebijakan Israel terhadap bangsa Palestina.

"Sangat krusial untuk melindungai kesepakatan damai dengan Mesir karena kesepakatan gas merupakan kesepakatan ekonomi paling penting yang kami punya," kata Landau kepada radio angkatan darat.

Dia menambahkan dugaan Israel telah membayar pasokan gas alam di bawah harga "sama sekali tidak" benar.

"Kami punya kesepakatan dengan rentang waktu 20 tahun yang menyertakan sejumlah langkah untuk mengecek situsasi dan mengupdate harga. Ini adalah kesepakatan jangka panjang dan Anda tidak dapat mengubah peraturan selama permainan."

Dia mengatakan Israel sedang mempersiapkan sumber-sumber minyak alternatif dan dalam dua tahun mendatang akan meningkatkan rencana untuk menyedot gas dari ladang Tamar, yang terletak di lepas pantai kota pelabuhan bagian utara Haifa.

Yordania, sementara itu, mengimpor sekitar 240 juta kaki kubik gas Mesir per hari, atau 80 persen dari kebutuhan listriknya.

Gangguan sebelumnya telah merugikan perekonomian Yordania sekitar 4,2 juta dolar AS per hari, kata Menteri Energi Khalid Tuqan pada waktu itu.

Kelompok bersenjata suku Badui Juni mengancam akan menyerang saluran pipa tersebut, kata para pejabat keamanan, menyebabkan otoritas Mesir memperketat keamanan sekitar saluran pipa dan terminal tersebut.

Hubungan polisi dengan bekas penduduk nomaden wilayah itu sering tegang, dimana suku Badui mengeluhkan pelecehan dan diskriminasi yang rutin terjadi.

Para aktivis menuduh polisi mengeksploitasi kekhawatiran tentang saluran pipa untuk menindas komunitas tersebut.