Brussel (ANTARA News/Reuters) - Negara-negara anggota Uni Eropa (EU) mencapai kesepakatan awal Jumat untuk memberlakukan embargo senjata pada Suriah dan mempertimbangkan langkah-langkah pembatasan lain sebagai tanggapan atas penumpasan protes oleh pemerintah Suriah, kata beberapa diplomat.

Pada pertemuan di Brussel, para duta besar negara-negara EU memberikan lampu hijau bagi embargo senjata dan peralatan yang digunakan untuk penindasan, dan langkah itu akan disahkan dalam beberapa hari mendatang.

"Ada kesepakatan politis bagi embargo senjata," kata seorang diplomat EU. "Mereka juga setuju mempersiapkan sanksi-sanksi individu."

Seorang juru bicara Hongaria, yang saat ini mendapat giliran menjadi ketua EU selama enam bulan, mengatakan, persiapan-persiapan bisa dilakukan dengan cepat.

"Negara-negara EU memahami keadaan buruk di Suriah. Kepresidenan menegaskan bahwa secepat mungkin kami akan membahas usulan itu, kami mulai mempersiapkan sanksi-sanksi," katanya.

Suriah sejak pertengahan Maret dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Kamis, kelompok HAM Suriah Sawasiah mengatakan, pasukan keamanan Suriah membunuh sedikitnya 500 warga sipil dalam penumpasan terhadap "pemberontakan demokratis damai".

Sawasiah, yang didirikan oleh pengacara HAM Suriah yang dipenjara, Mohannad al-Hassani, juga mengatakan, ribuan orang Suriah ditangkap dan puluhan orang hilang setelah demonstrasi menuntut kebebasan politik dan diakhirinya korupsi meletus hampir enam pekan lalu.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Assad juga memutuskan mencabut undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka, demikian Reuters melaporkan.