Jakarta (ANTARA News) - Pakar hubungan internasional dan pertahanan jebolan Universitas Parahiyangan (Unpar) Bandung, Dr Andreas Hugo Pareira, mengatakan bahwa sengketa Laut China Selatan kini memasuki babak baru setelah adanya tindakan hegemonik dan klaim sepihak Tiongkok atas Kepulauan Spratly serta Paracel.

"Saya punya feeling hal ini bisa menimbulkan ketegangan baru di Asia Tenggara. Reaksi dari Presiden Filipina, Aquino III, yang menuduh Tiongkok mengganggu stabilitas kawasan Asteng, merupakan salah satu reaksi yang bisa memicu ketegangan itu," katanya di Jakarta, Senin.

Andreas Pareira pun menunjuk protes massa di Vietnam yang jelas-jelas mengekspresikan sikap anti-Tiongkok dan kesemuanya bisa menjadi pertanda buruk bagi keamanan di Asia Tenggara (Asteng).

"Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diingatkan kepada Tiongkok. Pertama, pemerintahnya perlu lebih hati-hati menahan diri dari tindakan `uniltarelis` di Laut China Selatan," tegasnya.

Hal itu penting, ujar Andreas Pareira, agar tidak menyebarluas sikap anti-China yang bisa merembes ke persoalan lain, seperti sosial-politik-ekonomi dan budaya di kawasan. "Mengingat, banyak populasi keturunan etnis Tionghoa di kawasan ini," ungkapnya.

Hal kedua, usulnya, Tiongkok juga perlu menahan diri, sehngga tidak terjadi konflik terbuka yg akan membuka peluang pihak ke-3 dari luar kawasan untuk terlibat dalaam percaturan di wilayah ini.

"Ketiga, Negara-negara ASEAN perlu duduk bersama, menyamakan visi mengenai sengketa di Laut China Selatan, dan membuka forum dialog untuk mencari penyelesaian bersama dengan China," katanya.

Lalu keempat, menurut dia, idealnya penyelesaian sengketa klaim Laut China selatan menggunakan hukum internasional.

"Namun, terhadap wilayah-wilayah khusus di Laut China Selatan yang tidak menemukan penyelesaian, perlu disepakati untuk pengamanan dan `join exploration` di antara negara-negara terkait," demikian Andreas Pareira.