Polisi berhadapan dengan massa demonstran di Kuala Lumpur |
Berbagai macam akun Facebook mulai dari desakan agar Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak mundur, kecaman keras terhadap ”keberingasan” polisi, sampai akun yang dengan terang-terangan menyokong aksi Bersih 2.0.
Seperti diwartakan, akhir pekan lalu Koalisi untuk Pemilu yang Bersih dan Jujur menggelar unjuk rasa damai, yang dinamai Bersih 2.0. Mereka mendesak agar pemilu Malaysia digelar bersih dan jujur.
Aksi unjuk rasa damai itu berakhir kisruh. Sebanyak 1.667 pengunjuk rasa ditangkap dan ditahan oleh polisi. Aparat kepolisian membubarkan pengunjuk rasa dengan cara menembaki para demonstran dengan gas air mata, menyerbu, dan memukuli mereka secara brutal.
Seorang pengunjuk rasa dilaporkan meninggal dunia karena serangan jantung saat berusaha menghindar dari tembakan gas air mata. Pemimpin oposisi Anwar Ibrahim dikabarkan terluka dan dilarikan ke rumah sakit karena terjatuh saat lari menghindari serbuan polisi.
Situr www.malaysiakini.com memberitakan, dari sejumlah akun bertema perlawanan, salah satunya diberi judul ”100,000 People Request Najib Tun Razak Resignation”. Akun itu disukai sedikitnya oleh 140.000-an pengguna Facebook.
Jumlah itu berhasil dihimpun dalam waktu sangat singkat, hanya dua hari setelah insiden.
Sementara itu, beberapa akun bertema sejenis namun dengan judul berbeda juga bermunculan, seperti ”Say No to Najib” atau ”1,000000 Mahu Najib Cuba Tear Gas Sendiri”.
Akun Facebook berisi dukungan terhadap gerakan Bersih 2.0 juga marak bermunculan. Salah satu akun berjudul ”BERSIH 2.0 [OFFICIAL]” diikuti 170.000-an penyuka.
Selain itu, ada ”BERSIH-Gabungan Pilihanraya Bersih dan Adil” walau jumlah penyuka masih sedikit.
Perlawanan dan kemarahan kepada polisi juga diwujudkan dalam beberapa judul akun semacam ”Malaysia police are brutal violence and lack of discipline!”.
Gerakan perlawanan terhadap ”pemerintahan yang lalim” lewat dunia maya memang bukan baru terjadi kali ini saja. Sejarah dunia mencatat, gelombang perlawanan lewat dunia maya bahkan berujung pada tergulingnya sejumlah pemerintahan diktator, seperti terjadi di beberapa negara di Timur Tengah.
Media online belakangan kerap menjadi pilihan, terutama ketika media arus utama dianggap sudah dikontrol, dikuasai, dan berpihak kepada penguasa. Kondisi itu terjadi di Malaysia.
Dalam indeks kebebasan pers oleh Freedom House, dalam tiga tahun terakhir, Malaysia dikategorikan sebagai negara dengan pers yang tidak bebas.
Editor by Fatryani Auly
0 komentar:
Posting Komentar