Damaskus (ANTARA News) - Pasukan keamanan Suriah menembak mati sedikitnya 34 orang, termasuk seorang anak, ketika protes pro-demokrasi berlangsung di negara itu setelah sholat Jumat, kata sejumlah aktivis.

Anak itu termasuk diantara 12 orang yang tewas di kota Homs, Suriah tengah, sementara 15 orang lain tewas di kota Maaret al-Naaman dekat kota Idlib di wilayah barat.

Dua orang lagi tewas di daerah selatan, Daraa, pusat protes yang melanda Suriah sejak 15 Maret, satu orang tewas di Daraya, daerah pinggiran Damaskus, dan satu lagi di kota pesisir Latakia, kata mereka.

Para aktivis itu menambahkan, dua orang lagi tewas di kota wilayah timur, Deir Ezzor, dan satu orang tewas di kota tengah, Hama.

Puluhan orang juga terluka dalam demonstrasi-demonstrasi itu, kata mereka.

Televisi pemerintah menyalahkan kekerasan itu pada geng-geng besenjata, yang katanya melepaskan tembakan pada warga sipil dan aparat keamanan di daerah Idlib dan di pinggiran Homs, yang mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban.

Protes juga dikabarkan berlangsung di kota-kota lain di negara itu.

Seorang aktivis mengatakan, demonstrasi dilakukan di luar sebuah masjid di Damaskus pusat namun segera dibubarkan oleh pasukan keamanan.

Seorang aktivis lain di Homs melaporkan, pasukan keamanan menyerbu sebuah rumah sakit setempat dan memindahkan beberapa korban terluka serta mayat seorang korban.

Di Ain Arab, sebuah daerah mayoritas Kurdi dekat kota Aleppo, Suriah utara, ratusan orang turun ke jalan dengan meneriakkan slogan-slogan "Tidak untuk kekerasan, ya untuk dialog" dan "Kami bukan Islamis atau Salafis, kami ingin kebebasan," kata Radif Mustapha, ketua kelompok HAM Kurdi yang dihubungi melalui telefon.

"Tak ada yang menyerukan keruntuhan rejim," tambahnya.

Di Banias, ribuan pria, wanita dan anak-anak berpawai, dan banyak dari demonstran pria tidak memakai baju untuk menunjukkan bahwa mereka tidak bersenjata, kata Rami Abdel Rahman, dari Observatorium HAM Suriah yang berpusat di London kepada AFP.

Keterangan para saksi itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara independen karena wartawan asing dilarang pergi ke Suriah untuk meliput protes yang merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah Presiden Bashar al-Assad.

Suriah sejak pertengahan Maret dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Kelompok-kelompok HAM menuduh pasukan keamanan Suriah membunuh ratusan warga sipil dalam penumpasan terhadap demonstrasi damai.

Menurut mereka, ribuan orang Suriah ditangkap dan puluhan orang hilang setelah demonstrasi menuntut kebebasan politik dan diakhirinya korupsi meletus hampir enam pekan lalu.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Presiden Bashar al-Assad juga memutuskan mencabut undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.