Jutaan pengunjuk rasa antipemerintah berkumpul di Tahrir Square, merayakan kemenangan revolusi Mesir pascapengumuman mundurnya Presiden Hosni Mubarak, Jumat (11/2/2011). |
KAIRO (ArsipBerita) - Pertengahan Juni lalu terjadi kejutan di kancah politik Mesir. Sebanyak 18 kekuatan politik di negeri itu mendeklarasikan lahirnya koalisi demokrasi yang punya misi merancang dasar-dasar konstitusi Mesir mendatang.
Ada dua pesan strategis dari lahirnya koalisi demokrasi itu. Pertama, berhimpunnya kekuatan politik dari berbagai latar belakang ideologi, yakni islamis (Ikhwanul Muslimin), liberalis (Partai Wafd), nasionalis (Tajamu’), dan sosialis (Nasseris). Kedua, koalisi itu menjembatani kepentingan dua kubu yang berbeda pendapat soal isu konstitusi baru pascarevolusi.
Kubu islamis menghendaki penyusunan konstitusi baru harus dilakukan pascapemilu parlemen sesuai dengan hasil referendum pada akhir Maret lalu. Konstitusi baru itu akan disusun oleh komite khusus yang dibentuk oleh parlemen hasil pemilu, yang dijadwalkan digelar pada akhir September.
Namun, kubu liberalis dan nasionalis menuntut penyusunan konstitusi baru harus dilakukan sebelum pemilu parlemen. Menurut mereka, penyusunan konstitusi harus dilakukan lewat musyawarah nasional yang melibatkan semua kekuatan politik. Kubu liberalis dan nasionalis khawatir, kubu islamis mendominasi parlemen mendatang dan selanjutnya memengaruhi komite khusus yang bertugas menyusun konstitusi baru.
Polemik dua kubu tentang apa yang didahulukan, konstitusi atau pemilu, menghiasi halaman media cetak, talk show di televisi, dan forum seminar di Mesir.
Seorang kolumnis liberalis, Hazem Abdurahman, dalam artikelnya di harian Al Ahram menuduh Ikhwanul Muslimin ingin menjadi diktator baru di Mesir. Mereka dinilai berambisi menguasai parlemen mendatang dan mewarnai konstitusi baru.
Kubu islamis membantah keras tuduhan tersebut. Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin) Muhammad Mursi menegaskan, partainya tidak memiliki niat melakukan monopoli politik. Mereka akan berusaha mewujudkan parlemen dan konstitusi yang mencerminkan aspirasi semua elemen masyarakat.
Kehadiran koalisi demokrasi untuk mencapai kesepakatan tentang dasar-dasar konstitusi baru itu menjadi terobosan luar biasa yang diharapkan bisa menghilangkan kekhawatiran kubu liberalis atas hegemoni kubu islamis pascapemilu.
Di antara kesepakatan koalisi demokrasi yang akan menjadi dasar konstitusi baru nanti adalah kebebasan beragama dan melakukan ibadah bagi semua pemeluk agama, kesetaraan warga negara, peralihan kekuasaan secara damai lewat pemilu, kebebasan berunjuk rasa, independensi lembaga yudikatif, serta keadilan sosial.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah kesediaan kubu islamis dan liberalis bahu-membahu merancang dasar-dasar konstitusi baru itu. Bahkan, kini tengah digodok kemungkinan koalisi itu maju ke arena pemilu di bawah satu bendera.
Jika hal itu terwujud, Mesir bisa memberikan contoh model kehidupan demokrasi yang jauh lebih inovatif daripada Turki. Model demokrasi Turki saat ini menyuguhkan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sebagai simbol harmonisasi Islam dan demokrasi. Namun, AKP tetap berhadapan dengan kubu sekularis di Turki.
Adapun Mesir bisa menepis asumsi selama ini bahwa islamis selalu vis a vis dengan liberalis atau nasionalis, seperti yang sering terjadi di banyak negara di dunia Islam.
Pada gilirannya, Mesir akan kembali menjadi sumber inspirasi di dunia Arab dan Islam. Seperti dimaklumi, gerakan pembaruan Islam yang ditiupkan Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh dari Mesir akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menginspirasi seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia.
Ada dua pesan strategis dari lahirnya koalisi demokrasi itu. Pertama, berhimpunnya kekuatan politik dari berbagai latar belakang ideologi, yakni islamis (Ikhwanul Muslimin), liberalis (Partai Wafd), nasionalis (Tajamu’), dan sosialis (Nasseris). Kedua, koalisi itu menjembatani kepentingan dua kubu yang berbeda pendapat soal isu konstitusi baru pascarevolusi.
Kubu islamis menghendaki penyusunan konstitusi baru harus dilakukan pascapemilu parlemen sesuai dengan hasil referendum pada akhir Maret lalu. Konstitusi baru itu akan disusun oleh komite khusus yang dibentuk oleh parlemen hasil pemilu, yang dijadwalkan digelar pada akhir September.
Namun, kubu liberalis dan nasionalis menuntut penyusunan konstitusi baru harus dilakukan sebelum pemilu parlemen. Menurut mereka, penyusunan konstitusi harus dilakukan lewat musyawarah nasional yang melibatkan semua kekuatan politik. Kubu liberalis dan nasionalis khawatir, kubu islamis mendominasi parlemen mendatang dan selanjutnya memengaruhi komite khusus yang bertugas menyusun konstitusi baru.
Polemik dua kubu tentang apa yang didahulukan, konstitusi atau pemilu, menghiasi halaman media cetak, talk show di televisi, dan forum seminar di Mesir.
Seorang kolumnis liberalis, Hazem Abdurahman, dalam artikelnya di harian Al Ahram menuduh Ikhwanul Muslimin ingin menjadi diktator baru di Mesir. Mereka dinilai berambisi menguasai parlemen mendatang dan mewarnai konstitusi baru.
Kubu islamis membantah keras tuduhan tersebut. Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin) Muhammad Mursi menegaskan, partainya tidak memiliki niat melakukan monopoli politik. Mereka akan berusaha mewujudkan parlemen dan konstitusi yang mencerminkan aspirasi semua elemen masyarakat.
Kehadiran koalisi demokrasi untuk mencapai kesepakatan tentang dasar-dasar konstitusi baru itu menjadi terobosan luar biasa yang diharapkan bisa menghilangkan kekhawatiran kubu liberalis atas hegemoni kubu islamis pascapemilu.
Di antara kesepakatan koalisi demokrasi yang akan menjadi dasar konstitusi baru nanti adalah kebebasan beragama dan melakukan ibadah bagi semua pemeluk agama, kesetaraan warga negara, peralihan kekuasaan secara damai lewat pemilu, kebebasan berunjuk rasa, independensi lembaga yudikatif, serta keadilan sosial.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah kesediaan kubu islamis dan liberalis bahu-membahu merancang dasar-dasar konstitusi baru itu. Bahkan, kini tengah digodok kemungkinan koalisi itu maju ke arena pemilu di bawah satu bendera.
Jika hal itu terwujud, Mesir bisa memberikan contoh model kehidupan demokrasi yang jauh lebih inovatif daripada Turki. Model demokrasi Turki saat ini menyuguhkan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sebagai simbol harmonisasi Islam dan demokrasi. Namun, AKP tetap berhadapan dengan kubu sekularis di Turki.
Adapun Mesir bisa menepis asumsi selama ini bahwa islamis selalu vis a vis dengan liberalis atau nasionalis, seperti yang sering terjadi di banyak negara di dunia Islam.
Pada gilirannya, Mesir akan kembali menjadi sumber inspirasi di dunia Arab dan Islam. Seperti dimaklumi, gerakan pembaruan Islam yang ditiupkan Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh dari Mesir akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menginspirasi seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia.
Editor by Fatryani Auly
0 komentar:
Posting Komentar