Jakarta (ANTARA News) - Brunei Darussalam merupakan negeri jiran Indonesia yang sudah bergabung dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) selama 27 tahun.

Selama rentang waktu hampir tiga dekade sejak bergabungnya Brunei pada 7 Januari 1984 itu, Sultan Hassanal Bolkiah tercatat sebagai pemimpin ASEAN terlama saat ini karena banyak di antara kepala negara dan pemerintahan ASEAN lainnya, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Myanmar, sudah berganti.

Dalam konteks kebijakan luar negeri, pemerintah negara seluas 5.765 km persegi dengan jumlah penduduk sedikitnya 388.190 jiwa ini menempatkan ASEAN pada posisi yang penting sebagaimana terlihat dari keberadaan direktorat jenderal ASEAN dalam struktur di Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (MoFAT) Brunei.

Dalam membangun hubungan luar negerinya, Brunei menekankan pada sejumlah prinsip, yakni "saling menghormati keutuhan wilayah, kedaulatan, kemerdekaan, dan identitas nasional semua bangsa; pengakuan atas kesetaraan bagi semua bangsa; tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara; penyelesaian konflik secara damai; dan pembangunan kerja sama bagi kemanfaatan bersama.

Sebagai tetangga dekat Indonesia, Brunei Darussalam merupakan "sahabat" di saat suka dan duka serta senantiasa memperkuat kerja sama bilateralnya sejak kedua negara resmi membuka hubungan diplomatik pada 1 Januari 1984.

Kuatnya fondasi hubungan kedua negara dan bangsa tidak hanya disokong oleh latar belakang sosial dan budaya kedua rakyat yang mayoritas beragama Islam serta pertalian budaya Melayu tetapi juga oleh kedekatan hubungan personal kedua kepala negara sejak era pemerintahan Presiden Soeharto.

Kedekatan kedua negara tidak hanya diejawantahkan ke dalam kerja sama pertanian, perikanan, kehutanan, kesejahteraan, investasi, perdagangan, budaya dan pariwisata tetapi juga kerja sama di berbagai forum regional dan internasional seperti Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), PBB, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Forum Regional ASEAN (ARF).

Di sektor perdagangan, Kementerian Luar Negeri RI mencatat adanya kecenderungan peningkatan nilai. Jika pada 2008, total nilai perdagangan kedua negara mencapai 2,476 miliar dolar AS atau meningkat 1,9 miliar dolar AS dibandingkan dengan nilai perdagangan bilateral tahun 2007.

MoFAT Brunei menyebutkan Indonesia mengalami "defisit" dalam beberapa tahun terakhir dalam neraca perdagangannya dengan Brunei yang mengandalkan produk minyak dan gas bumi dalam ekspornya. Namun Indonesia berupaya membuat neraca perdagangannya itu lebih berimbang. Beberapa upaya yang telah dilakukan adalah penyelenggaraan pameran produk tahunan Indonesia di negara itu sejak 2008.

Di bidang kerja sama sosial-budaya, Indonesia dan Brunei Darussalam telah pun menandatangani nota kesepahaman (MoU) pada 22 April 2008 di Jakarta serta memiliki Perhimpunan Persahabatan Brunei Darussalam -Indonesia (BRUDIFA) sejak 24 Maret 2009.

Menurut Kementerian Luar Negeri RI, BRUDIFA menjadi "sarana `second-track diplomacy` antara Indonesia dan Brunei Darussalam untuk lebih mempererat hubungan dan meningkatkan kerja sama kedua negara di bidang ekonomi, perdagangan, pariwisata, sosial, pendidikan dan kebudayaan".

Sebagai tetangga dan sesama anggota ASEAN, pemerintah dan rakyat negara yang terletak di pantai barat laut Pulau Kalimantan itu berulang kali menunjukkan simpatinya pada Indonesia ketika bencana alam melanda sejumlah daerah di Tanah Air, termasuk bencana tsunami Aceh (2004) dan gempa Sumatera Barat (2009).

MoFAT Brunei menyebutkan, pasca-bencana tsunami Aceh, pemerintahnya memberikan bantuan senilai 100 ribu dolar AS kepada Indonesia serta dana 641.793,40 dolar Brunei untuk perbaikan Masjid Baiturrahim Ulee Lhee. Brunei juga menyumbang 100 ribu dolar AS untuk membantu meringankan beban korban gempa Sumbar.

Di bidang keamanan, kedua negara pun telah berkomitmen untuk memperkuat kerja sama lewat berbagai kegiatan seperti pendidikan, pelatihan, dan latihan militer, kerja sama teknis, pertukaran kunjungan, serta pengadaan peralatan militer sebagaimana tercakup dalam nota kesepahaman tahun 2003.

Keamanan maritim dan kontraterorisme termasuk di antara masalah yang mendapat perhatian pejabat kementerian pertahanan kedua negara sebagaimana dilaporkan media Brunei ketika Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengunjungi negara itu beberapa waktu lalu.

Berkaitan dengan kerja sama keamanan bilateral itu pula, Brunei menghibahkan dua kapal patroli cepat dari Tentara Diraja Laut Brunei kepada TNI AL April lalu. Kedua kapal eks-Brunei yang diberi nama KRI Salawaku 642 dan KRI Badau 643 itu bergabung dalam jajaran wilayah Komando Armada RI Kawasan Barat (Armabar) untuk tugas patroli di wilayah barat Indonesia.

Dua kapal hibah berjenis kapal rudal cepat yang mempunyai kemampuan cepat dan dipersenjatai dengan peluru kendali yang sudah berusia 30 tahun itu masih dapat dipakai untuk masa 10 hingga 15 tahun.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan terima kasihnya kepada Sultan Hassanal Bolkiah atas hibah dua kapal itu saat pemimpin Brunei itu mengadakan kunjungan kehormatan di Istana Merdeka, Jakarta, 21 April lalu.

Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Presiden Yudhoyono juga menyampaikan terima kasih atas penerimaan yang baik rakyat Brunei terhadap 70 ribu orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Keberhasilan penanganan TKI di Brunei itu akan dijadikan model percontohan di negara-negara penerima TKI lainnya di dunia.

"Kita ingin melihat keberhasilan penanganan TKI di Brunei sebagai contoh penanganan yang bisa dijadikan model dalam kita berinteraksi dengan negara-negara lain yang juga menerima TKI kita. Ini akan diarahkan dan diperjuangkan," katanya.

Dalam pertemuan kedua kepala negara 16 hari sebelum penyelenggaraan KTT ASEAN ke-18 di Jakarta itu, Presiden Yudhoyono dan Sultan Bolkiah juga membicarakan beberapa kerja sama ASEAN di bidang pangan dan energi serta kerjas ama ASEAN yang lebih merakyat.

"Presiden menggarisbawahi bahwa beberapa negara di Asia Tenggara merupakan negara yang memproduksi pangan, padi, dan lain-lain. Jadi, bagaimana negara yang tidak memproduksi padi tersebut dapat berkontribusi dalam konteks investasi dan lain-lain," katanya.

Dari perjalanan hubungan Indonesia dan Brunei selama ini, keduanya memperlihatkan kualitas bertetangga yang bak "dua sahabat di saat suka dan duka" dan berkomitmen membangun kemajukan bersama selamanya dalam semangat ASEAN.